Nama : Shakina Dwiandari
Kelas : 2EB19
NPM : 26211720
TUGAS SOFTSKILL
HUKUM PERIKATAN DI INDONESIA
Definisi Hukum Perikatan :
- Menurut Hofmann :
Suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum
sehubungan dengan itu dengan seseorang atau beberapa prang daripadanya
mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap
pihak lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu
- Menurut Pitlo :
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara 2 orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak
(kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi
- Menurut Subekti :
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang
berkewajiban memenuhi tuntutan itu
Perikatan didefinisikan sebagai hubungan hukum dalam lingkungan harta
kekayaan antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan hak dan kewajiban
atas suatu prestasi
SISTEM HUKUM PERIKATAN
Sistem hukum perikatan bersifat terbuka. Artinya, setiap perikatan
memberikan kemungkinan bagi setiap orang untuk mengadakan berbagai
bentuk perjanjian, seperti yang telah diatur dalam Undang-undang, serta
peraturan khusus atau peraturan baru yang belum ada kepastian dan
ketentuannya. Misalnya perjanjian sewa rumah, sewa tanah, dan
sebagainya.
SIFAT HUKUM PERIKATAN
Hukum perikatan merupakan hukum pelengkap, konsensuil, dan
obligatoir. Bersifat sebagai hukum pelengkap artinya jika para pihak
membuat ketentuan masing – masing, setiap pihak dapat mengesampingkan
peraturan dalam Undang – undang.
Hukum perikatan bersifat konsensuil artinya ketika kata sepakat telah
dicapai oleh masing-masing pihak, perjanjian tersebut bersifat mengikat
dan dapat dipenuhi dengan tanggung jawab.
Sementara itu, obligatoir berarti setiap perjanjian yang telah
disepakati bersifat wajib dipenuhi dan hak milik akan berpindah setelah
dilakukan penyerahan kepada tiap – tiap pihak yang telah bersepakat.
MACAM – MACAM HUKUM PERIKATAN
Berikut ini meruapkan beberapa jenis hukum perikatan
- Perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang pemenuhan prestasinya dikaitkan pada syarat tertentu.
- Perikatan dengan ketetapan waktu, yaitu perikatan yang pemenuhan prestasinya dikaitkan pada waktu tertentu atau dengan peristiwa tertentu yang pasti terjadi.
- Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng, yaitu para pihak dalam perjanjian terdiri dari satu orang pihak yang satu dan satu orang pihak yang lain. Akan tetapi, sering terjadi salah satu pihak atau kerdua belah pihak terdiri dari lebih dari satu orang
Asal kata perikatan dari obligatio (latin), obligation (Perancis,
Inggris) Verbintenis (Belanda = ikatan atau hubungan). Selanjutnya
Verbintenis mengandung banyak pengertian, di antaranya:
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang
(pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak
lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.
Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada
pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka
timbullah suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah
pihak.
Intinya, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang
menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang
paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut
sistim terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk
mengadakan perjanjian.
2. DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
- Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
- Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi
undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini
tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata
- Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
3.Azas-azas Dalam Hukum Perikatan.
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
- Azas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu
perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa
dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan
isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri,
dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
- Azas Konsensualisme
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya
kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak
memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang
mengikatkan diri, yaitu :
- Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri.
- Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
- Mengenai suatu hal tertentu.
- Suatu sebab yang halal.
4. WANPRESTASI DAN AKIBAT – AKIBATNYA
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak
melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia (alpa) atau ingkar janji.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yand dijanjikannua, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
5. HAPUSNYA PERIKATAN
Perihal hapusnya perikatan
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1381 menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan yaitu :
- Pembayaran
- Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
- Pembaharuan utang (inovatie)
- Perjumpaan utang (kompensasi)
- Percampuran utang.
- Pembebasan utang.
- Musnahnya barang yang terutang
- Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Adapun dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV Buku III KUH Perdata adalah :
- Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
- Kadaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar