Nama : Shakina Dwiandari
NPM : 26211720
Kelas : 1EB21
KEBIJAKSAAN PEMERINTAH
1. Kebijakan Fiskal
Suatu kebijakan ekonomi dalam rangka
mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan
mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip
dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun
kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja
pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran
pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas
jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi.
Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat
dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya
kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan
output industri secara umum. Berkaitan erat
dengan kegiatan perekonomian empat sektor, dimana sektor – sektor
tersebut diantaranya sektor rumah tangga, sektor perusahaan, sektor
pemerintah dan sektor dunia internasional/luar negeri. Ke-empat sektor
ini memiliki hubungan interaksi masing – masing dalam menciptakan
pendapatan dan pengeluaran.
Pelita I
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.
Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.
Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.
2. Pelita II
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.
3. Pelita III
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
§ Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan perumahan.
§ Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
§ Pemerataan pembagian pendapatan
§ Pemerataan kesempatan kerja
§ Pemerataan kesempatan berusaha
§ Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan
§ Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air
§ Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
§ Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan perumahan.
§ Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
§ Pemerataan pembagian pendapatan
§ Pemerataan kesempatan kerja
§ Pemerataan kesempatan berusaha
§ Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan
§ Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air
§ Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
4. Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
5. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
6. Pelita VI
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
2. Kebijakan Fiskal dan Moneter Sektor Luar Negeri
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter satu sama lain saling berpengaruh
dalam kegiatan perekonomian. Masing – masing variabel kebijakan
tersebut, kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu
pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure).
Sedangkan variabel utama dalam kebijakan moneter, yaitu GDP, inflasi,
kurs, dan suku bunga.
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan
negara dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari selisih antara
penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga
dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang
dibiayai pengeluaran negara.
Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang
dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis
pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada
dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan
berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam
negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian
hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam
penerimaan negara. Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara
adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan
berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara.
Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak
termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.
Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan
diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus
dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian,
yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada
umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk
membayar hutang pemerintah (prepayment).
Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan
pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman
dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman
perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara
(government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan
bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan
defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat
memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting
diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam
negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).
Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, “margin requirement“, kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang
bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan
eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan
ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur
dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran
internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan
perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk
memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama
kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada
sektor riil.
Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
- Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar
2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar.
Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki
obligasi negara yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah
Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang dimulai pada masa krisis
untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder
bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi jual beli
di pasar sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia
masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan
OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank Indonesia, karena BI harus
membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga sangat
pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang
memadai untuk dipakai dalam OMOs.
Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli
obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian
dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah
obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan
dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam
perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang
berada dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio
obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada
bank sentral berupa bunga obligasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar